Agak sedikit susah bagiku memulai tulisan ini dengan menyinggung sarang madu. Memiliki alasan tersendiri bagiku bertalian dengan kata bee alias tawon atau sering kami sebut di daerah kami harigenneng. Saya akan membagikan kenangan antara saya, harigegenneng dan ayah saya (yang saya sebut bapak).
Mungkin saya sudah pernah menyebut nama kampung halaman saya yang berada di ujungnya kampung orang lain, kalau saya memakai bahasa tempat saya tinggal sekarang ini adalah mentok. Ajinembah ya Ajinembah adalah kampung kelahiran saya dan ke-empat saudara/i saya, kami juga dibesarkan asli di desa yang terkenal dengan Palas Sipitu Ruang ini. Kami dibesarkan belajar membaca dan menulis di rumah yang dibangun dengan sederhana dan pantas untuk ukuran keluarga yang berprofesi sebagai petani. Oh ia sedikit tentang profesi Petani, jangan pernah bilang profesi ini rendahan karena kami menjalani hidup dengan nilai-nilai yang menurut kami sangat indah. Saya agak sedikit tersinggung dengan pemaparan seseorang beberapa minggu lalu berkaitan dengan profesi Petani. Yang menjelaskan bahwa tidak ada orang tua yang mau jika anaknya berprofesi sebagai seorang petani (walaupun itu adalah isi hatimu jangan sampaikan kepada kalangan umum karena belum tentu pendengar semua setuju dengan pendapatmu, bahkan ada kadang engkau membuat mereka tersinggung).
Oh ia kembali mengupas harigenneng yang sangat mengesankanku dan membuat masa-masa hidupku pernah mengalami hal yang tidak pernah dialami orang lain.
Saat hari sore aku dan Bapakku sangat sibuk membuat sebuah persiapan untuk mengambil sesuatu yang akan aku minum apabila aku batuk dan tidak jarang keluarga dan orang sekampung meminta hasilnya kepada mamaku. Dimulai dari minyak tanah, obor, ember besar, pisau, daun yang dalam bahasa daerahku ersam. Jauh sebelum kami membuat persiapan ini tiga bulan sebelumnya Bapakku harus mengikuti gerak-gerik sang harigenneng dan mencari tau rumah tempat mereka tinggal. Ketika kelihatan empat sampai 5 ekor bee, bapakku akan mengikuti mereka go to home sambil mengecek kondisi di wilayah rumah mereka.
Dan saat yang tepat tiba, sarang harigenneng dipenuhi dengan madu bahkan mereka mulai bertelur dan sebagian telur mereka mulai berubah menjadi anak, waktunya penuaian ya kamilah yang akan menjadi penuai bagi bee ini.
Aku berlari kecil mengikuti langkah kaki yang sangat kuat dan tidak pernah kenal lelah dalam bekerja, langkah yang kokoh, kaki yang kuat seperti kaki rusa itulah gambaran seorang Bapak bagiku. Tidak kenal lelah sebelum dia menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, itulah sebabnya aku ga percaya kalau suatu hari dia akan beristirahat dan kaku di sebuah peti yang berukuran kecil.Saat hari itu tiba rasanya seperti mimpi dan rasanya tidak percaya kalau orang yang sekuat Bapakku bisa juga ternyata meninggal.
Kaki kecilku tetap mengikuti langkahnya sampai kami berada di sebuah hutan di bawah ladang kami yang kami sebut juma lepar. Di hutan itu Bapakku mulai memanjat sebuah pohon yang berukuran besar dan tinggi, dari bawah aku melihat dan menyodorkan obor kearah tangannya dan segerlah dipotong sarang madu. Blakkk begitulah terdengar suara sarang madu jatuh ke dalam ember besar kami dan sebagian lagi tumpah ke tanah (jelas itu salahku). dan bee mulai menghinggapi Bapakku dan sebagian dari mereka menyengatnya dibagian tangan dan kepala, disinilah aku lihat lagi kekuatan fisik Bapakku ini, aku sangat kagum pada beliau.
Dan hari ini aku sangat merindukan saat-saat bersamanya. dari lantai 5 Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tempat aku menulis saat ini aku sangat merindukanmu Bapakku. Saat menulis ini tanpa terasa mataku berkaca-kaca dan air mataku menetes. Tapi aku yakin inilah yang terbaik buat kita, buat keluarga kita, dan saatnya tiba kita akan bertemu di Sorga mulia.
selamat siang Bapak kekelengenku